Versi Lain dari Lanjutan Cerpen "Sepatu Butut"
Malam itu cukup sepi, hanya suara anjing tetangga yang sayup-sayup terdengar di kejauhan. Aku berlari ke belakang rumah dan membuang kantong plastik itu ke tempat sampah. Rasanya puas membayangkan Andi akhirnya tidak akan memakai sepatu yang memalukan itu lagi. Dengan hati lega, aku kembali ke kamar dan tidur dengan nyenyak.
Keesokan paginya, aku bangun lebih awal untuk melihat reaksi Andi. Namun, yang kudengar justru suara gaduh dari ruang tamu. Dengan rasa penasaran, aku melangkah ke sana, dan kulihat Andi sedang berusaha mencari-cari sesuatu, tampak gelisah. Orang tua kami juga sudah terbangun dan melihat Andi mondar-mandir.
“Kak, apa kamu lihat sepatu lamaku?” tanyanya dengan nada cemas, membuatku sedikit terkejut.
“A-aku nggak tahu, Di,” jawabku gugup.
Kulihat Andi menunduk, matanya terlihat berkaca-kaca. Lalu dia berkata pelan, “Sepatu itu… sepatu itu pemberian ayah waktu aku berhasil juara kelas dulu.”
Aku tertegun, rasa bersalah mulai menggerogoti hatiku. Baru aku ingat kalau sepatu itu memang hadiah dari ayah ketika Andi berhasil menjadi juara satu kelas tahun lalu. Ternyata sepatu usang itu bukan sekadar alas kaki bagi Andi, tapi simbol usaha dan pencapaian yang membanggakan bagi dirinya dan keluarga kami.
Andi melanjutkan dengan suara bergetar, “Setiap kali aku lihat sepatu itu, aku ingat janji ayah waktu itu: kalau aku juara lagi tahun ini, aku akan dapat sepatu baru yang keren. Jadi, aku simpan sepatu ini sampai waktunya tiba.” Dia menunduk lagi, tampak sedih dan kehilangan.
Aku benar-benar menyesal. Tanpa menunggu lebih lama, aku berlari ke belakang rumah. Kuperiksa tempat sampah, dan untunglah, kantong plastik itu masih di sana. Dengan tangan gemetar, kuambil sepatu itu dan kembali ke rumah, langsung memberikannya pada Andi.
Andi menerimanya dengan tatapan heran, lalu akhirnya tersenyum sambil memeluk sepatunya erat-erat. “Terima kasih, Kak,” katanya lembut.
Aku hanya bisa menunduk, merasa malu pada diriku sendiri. Ternyata, apa yang tampak tak berharga di mataku, adalah sesuatu yang sangat berarti baginya. Dari kejadian itu, aku belajar bahwa tidak semua yang usang atau terlihat jelek itu benar-benar tak berharga. Kadang, nilai dari sebuah benda bukan pada penampilannya, tapi pada kenangan dan perasaan yang melekat di dalamnya.
Sejak hari itu, aku berhenti mengomentari sepatu Andi. Bahkan, aku mulai belajar untuk melihat hal-hal sederhana di sekitarku dengan lebih menghargai, dan memahami bahwa setiap orang memiliki alasan di balik setiap pilihan mereka.
Posting Komentar untuk "Versi Lain dari Lanjutan Cerpen "Sepatu Butut""
Posting Komentar
Silakan ambil manfaat dan jika ada pertanyaan, silakan tulis di form komentar.
Terima kasih atas komentar yang sopan dan menyejukkan.