Sinopsis Novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" Karya Hamka
Tenggelamnja Kapal Van der Wijck (EYD: Tenggelamnya Kapal Van der Wijck) adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938, kemudian diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa. Kritikus sastra Indonesia Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka, meskipun pada tahun 1962 novel ini dituding sebagai plagiasi dari karya Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul Sous les Tilleuls (1832).
Di tahun 2013, novel ini kemudian diangkat ke layar lebar.
Setelah ibu pendekar Sutan wafat,
menurut adat, seluruh harta
warisan menjadi
milik Pendekar Sutan
dan Datuk Mantari Labih. Datuk
Mantari Labih bersifat
rakus sehingga
Pendekar Sutan
tidak mempunyai
hak apa-apa. Ketika
suatu kali Pendekar
Sutan meminta
sebagian hartanya
untuk bekal pernikahannya, terjadilah
pertengkaran dan berakhir dengan wafatnya
Datuk Mantari Labih.Pendekir Sutan tidak bermaksud membunuhnya. Ia hanya mempertahankan diri. Karena panbunuhan itu, Pendekar Sutan dihukum dibuang ke Mengkasar. Selesai menjalankan hukuman, Pendekar Sutan menikah dengan gadis Mengkasar yang bernama Habibah. Dari pernikahan itu lahirlah Zainuddin. Ketika Zainuddin berumur 4 tahun, wafatlah ibunya dan tidak lama kemudian wafat pula Pendekar Sutan. Zainuddin kemudian diasuh mak Base.
Dengan sisa harta orang tua Zainuddin itulah, mak Base menghidupi Zainuddin.
Ketika Zainuddin berumur 19 tahun, ia berkeinginan untuk kembali ke negeri nenek mamaknya di desa Batipuh (Minangkabau). Dengan berat hati mak Base melepaskan Zairuddin pergi. Setelah lima belas hari, sampailah Zainuddin di desa Batipuh. Semula, ia disambut gembira oleh keluarganya tetapi lama-kelamaan sikapnya berubah. Karena Zainuddin dianggap anak pisang, maka dia tidak berhak mendapat gelar suku.
Keadaan yang seperti itu, membuat hati Zainuddin sedih, tapi keadaan menjadi berubah ketika ia berkenalan dengan Hayati, si kembang desa di desa Batipuh itu. Zainuddin dan Hayati sama-sama jatuh cinta, tapi Hayati tidak berani menerima cinta Zainuddin karena takut kecaman orang. Akhirnya, Hayati pun berani mengambil risiko, karena bagaimanapun ia terlanjur jatuh cinta.
Hubungan asmara Zainuddin dan Hayati menjadi bahan gunjingan orang Batipuh. Berita itu, sampai pula kepada datuknya Hayati. Melihat kenyataan itu, datuknya Hayati memanggil Zainuddin. Zainuddin disuruh pergi demi kebaikan Zainuddin sendiri dan Hayati. Sebelum Zainuddin meninggalkan Batipuh, ia berjanji kepada Hayati bahwa hanya mautlah yang dapat memisahkannya. Setelah itu, Zainuddin pergi ke Padang Panjang.
Tidak lama setelah itu, Hayati diundang oleh sahabatnya di Padang Panjang, yaitu Chodijah, untuk melihat pacuan kuda. Dengan ditemani oleh mak Halimah, Hayati pergi ke Padang Panjang. Aziz, kakak Chodijah, jatuh cinta pada Hayati.
Di pacuan kuda itu, Hayati bertemu dengan Zainuddin, tetapi hanya sebentar karena Chodijah mengajak Hayati pergi. Chodijah menghina Zainuddin dan mengatakan, yang penting dalam hidup itu bukan cinta, tapi harta dan Aziz punya hal itu. Sepulang dari Padang Panjang, Hayati bimbang, apakah ia memilih Zainuddin ataukah Aziz.
Tak lama setelah pacuan kuda itu, keluarga Aziz meminang Hayati. Hayati menerimanya. Bersamaan dengan itu, datang pula lamaran Zainuddin. Tapi, Mamak Hayati menolaknya. Maka, perkawinan Aziz dan Hayati pun berlangsunglah. Sementara itu, Zainuddin sakit keras dan sering tak sadarkan diri.
Muluk, putra mamak yang ditempati Zainuddin di Padang Panjang, menganjurkan Zainuddin untuk mengembangkan bakat mengarangnya, dan untuk itu ia harus pergi ke Jawa. Nasihat itu diterima Zainuddin. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Surabaya.
Di Surabaya karier Zainuddin berkembang pesat. Ia telah menjadi sastrawan dan dramawan terkenal. Sementara itu, Hayati pun berada di Surabaya mengikuti suaminya bekerja. Berbeda dengan nasib Zainuddin, keadaan keluarga Hayati nyaris berada di jurang perpisahan. Aziz senang berjudi dan main wanita.
Pada suatu hari, datang undangan dari "Club Anak Sumatra". Isinya adalah mengundang Hayati dan Aziz untuk datang menyaksikan sandiwara yang dikarang oleh anak Sumatra. Aziz dan Hayati pun datang memenuhi undangan itu. Di pertemuan itu Hayati bertemu kembali dengan Zainuddin. Zainuddin sudah menjadi orang yang terkenal karena karya-karyanya sehingga menjadi orang yang kaya-raya. Sementara, kehidupan keluarga Hayati bertambah buruk. Aziz sering meminjam uang pada Zainuddin untuk berjudi. Orang-orang mulai menagih dan menyita rumahnya. Aziz pun dipecat dari pekerjaannya.
Dalam keadaan seperti itu, Aziz minta bantuan kepada Zainuddin agar diperkenankan tinggal di rumahnya. Zainuddin pun bersedia. Hayati tinggal di rumah Zainuddin dan Aziz pamit ke Banyuwangi untuk mencari pekerjaan. Tak lama kemudian datang berita bahwa Aziz telah bunuh diri di salah satu hotel di Banyuwangi. Aziz meninggalkan surat untuk
Zainuddin yang isinya: Aziz ingin mengembalikan Hayati pada Zainuddin.
Zainuddin tak bisa menerima Hayati sebagai istrinya. Ia ingat masa lalu yang perih, yang membuatnya menderita selama ini. Dalam hati Zainuddin bergolak antara cinta dan masa lalu. Akhirnya, Zainuddin meminta Hayati pulang ke Minangkabau. Hayati hanya bisa meratap, meneteskan air mata dan menuruti kemauan Zainuddin. Ia pergi ke pelabuhan diantar Muluk. Sebelum naik kapal Van der Wicjk, Hayati titip surat untuk Zainuddin.
Setelah membaca surat Hayati, Zanuddin menjadi tersentuh, kasihan dan sadar bahwa cinta Hayati masih tulus. Ia akan tersiksa terus-menerus tanpa Hayati. Akhirnya Zainuddin memutuskan untuk menjemput Hayati malam harinya di Jakarta. Tetapi sayang, pukul 14.00, ia membaca koran yang memuat beita: kapal Van der Wicjk tenggelam! Seketika itu Zainuddin gemetar.
Dengan petunjuk agen KPM, Zainuddin dan Muluk menuju Lamongan karena korban dirawat di sana. Tubuh Hayati luka parah, Hayati bahagia karena di akhir hayatnya, ia bisa mengetahui bahwa Zainuddin masih mencintainya. Jenazah Hayati kemudian dimakamkan di Surabaya. Hidup Zainuddin selanjutnya, merupakan hari-hari kelabu. Ia jarang keluar. Akhirnya, ia pun meninggal. Sesuai dengan pesan dan harapannya, ia dikuburkan di sisi kuburan Hayati, orang yang paling dicintainya. Sebelum meninggal, Zainuddin menulis surat wasiat bahwa seluruh kekayaannya diwariskan kepada Muluk dan hartanya yang ada di
Mengkasar diwariskan kepada Daeng Masiga, orang yang mengurus hartanya selama ini.
Di tahun 2013, novel ini kemudian diangkat ke layar lebar.
Setelah ibu pendekar Sutan wafat,
menurut adat, seluruh harta
warisan menjadi
milik Pendekar Sutan
dan Datuk Mantari Labih. Datuk
Mantari Labih bersifat
rakus sehingga
Pendekar Sutan
tidak mempunyai
hak apa-apa. Ketika
suatu kali Pendekar
Sutan meminta
sebagian hartanya
untuk bekal pernikahannya, terjadilah
pertengkaran dan berakhir dengan wafatnya
Datuk Mantari Labih.
Dengan sisa harta orang tua Zainuddin itulah, mak Base menghidupi Zainuddin.
Ketika Zainuddin berumur 19 tahun, ia berkeinginan untuk kembali ke negeri nenek mamaknya di desa Batipuh (Minangkabau). Dengan berat hati mak Base melepaskan Zairuddin pergi. Setelah lima belas hari, sampailah Zainuddin di desa Batipuh. Semula, ia disambut gembira oleh keluarganya tetapi lama-kelamaan sikapnya berubah. Karena Zainuddin dianggap anak pisang, maka dia tidak berhak mendapat gelar suku.
Keadaan yang seperti itu, membuat hati Zainuddin sedih, tapi keadaan menjadi berubah ketika ia berkenalan dengan Hayati, si kembang desa di desa Batipuh itu. Zainuddin dan Hayati sama-sama jatuh cinta, tapi Hayati tidak berani menerima cinta Zainuddin karena takut kecaman orang. Akhirnya, Hayati pun berani mengambil risiko, karena bagaimanapun ia terlanjur jatuh cinta.
Hubungan asmara Zainuddin dan Hayati menjadi bahan gunjingan orang Batipuh. Berita itu, sampai pula kepada datuknya Hayati. Melihat kenyataan itu, datuknya Hayati memanggil Zainuddin. Zainuddin disuruh pergi demi kebaikan Zainuddin sendiri dan Hayati. Sebelum Zainuddin meninggalkan Batipuh, ia berjanji kepada Hayati bahwa hanya mautlah yang dapat memisahkannya. Setelah itu, Zainuddin pergi ke Padang Panjang.
Tidak lama setelah itu, Hayati diundang oleh sahabatnya di Padang Panjang, yaitu Chodijah, untuk melihat pacuan kuda. Dengan ditemani oleh mak Halimah, Hayati pergi ke Padang Panjang. Aziz, kakak Chodijah, jatuh cinta pada Hayati.
Di pacuan kuda itu, Hayati bertemu dengan Zainuddin, tetapi hanya sebentar karena Chodijah mengajak Hayati pergi. Chodijah menghina Zainuddin dan mengatakan, yang penting dalam hidup itu bukan cinta, tapi harta dan Aziz punya hal itu. Sepulang dari Padang Panjang, Hayati bimbang, apakah ia memilih Zainuddin ataukah Aziz.
Tak lama setelah pacuan kuda itu, keluarga Aziz meminang Hayati. Hayati menerimanya. Bersamaan dengan itu, datang pula lamaran Zainuddin. Tapi, Mamak Hayati menolaknya. Maka, perkawinan Aziz dan Hayati pun berlangsunglah. Sementara itu, Zainuddin sakit keras dan sering tak sadarkan diri.
Muluk, putra mamak yang ditempati Zainuddin di Padang Panjang, menganjurkan Zainuddin untuk mengembangkan bakat mengarangnya, dan untuk itu ia harus pergi ke Jawa. Nasihat itu diterima Zainuddin. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Surabaya.
Di Surabaya karier Zainuddin berkembang pesat. Ia telah menjadi sastrawan dan dramawan terkenal. Sementara itu, Hayati pun berada di Surabaya mengikuti suaminya bekerja. Berbeda dengan nasib Zainuddin, keadaan keluarga Hayati nyaris berada di jurang perpisahan. Aziz senang berjudi dan main wanita.
Pada suatu hari, datang undangan dari "Club Anak Sumatra". Isinya adalah mengundang Hayati dan Aziz untuk datang menyaksikan sandiwara yang dikarang oleh anak Sumatra. Aziz dan Hayati pun datang memenuhi undangan itu. Di pertemuan itu Hayati bertemu kembali dengan Zainuddin. Zainuddin sudah menjadi orang yang terkenal karena karya-karyanya sehingga menjadi orang yang kaya-raya. Sementara, kehidupan keluarga Hayati bertambah buruk. Aziz sering meminjam uang pada Zainuddin untuk berjudi. Orang-orang mulai menagih dan menyita rumahnya. Aziz pun dipecat dari pekerjaannya.
Dalam keadaan seperti itu, Aziz minta bantuan kepada Zainuddin agar diperkenankan tinggal di rumahnya. Zainuddin pun bersedia. Hayati tinggal di rumah Zainuddin dan Aziz pamit ke Banyuwangi untuk mencari pekerjaan. Tak lama kemudian datang berita bahwa Aziz telah bunuh diri di salah satu hotel di Banyuwangi. Aziz meninggalkan surat untuk
Zainuddin yang isinya: Aziz ingin mengembalikan Hayati pada Zainuddin.
Zainuddin tak bisa menerima Hayati sebagai istrinya. Ia ingat masa lalu yang perih, yang membuatnya menderita selama ini. Dalam hati Zainuddin bergolak antara cinta dan masa lalu. Akhirnya, Zainuddin meminta Hayati pulang ke Minangkabau. Hayati hanya bisa meratap, meneteskan air mata dan menuruti kemauan Zainuddin. Ia pergi ke pelabuhan diantar Muluk. Sebelum naik kapal Van der Wicjk, Hayati titip surat untuk Zainuddin.
Setelah membaca surat Hayati, Zanuddin menjadi tersentuh, kasihan dan sadar bahwa cinta Hayati masih tulus. Ia akan tersiksa terus-menerus tanpa Hayati. Akhirnya Zainuddin memutuskan untuk menjemput Hayati malam harinya di Jakarta. Tetapi sayang, pukul 14.00, ia membaca koran yang memuat beita: kapal Van der Wicjk tenggelam! Seketika itu Zainuddin gemetar.
Dengan petunjuk agen KPM, Zainuddin dan Muluk menuju Lamongan karena korban dirawat di sana. Tubuh Hayati luka parah, Hayati bahagia karena di akhir hayatnya, ia bisa mengetahui bahwa Zainuddin masih mencintainya. Jenazah Hayati kemudian dimakamkan di Surabaya. Hidup Zainuddin selanjutnya, merupakan hari-hari kelabu. Ia jarang keluar. Akhirnya, ia pun meninggal. Sesuai dengan pesan dan harapannya, ia dikuburkan di sisi kuburan Hayati, orang yang paling dicintainya. Sebelum meninggal, Zainuddin menulis surat wasiat bahwa seluruh kekayaannya diwariskan kepada Muluk dan hartanya yang ada di
Mengkasar diwariskan kepada Daeng Masiga, orang yang mengurus hartanya selama ini.