Legenda "Asal-Usul Penduduk Merem" (Papua)
Zaman dahulu hiduplah seorang laki-laki bernama Woiram. Dia bertempat tingga di kampung Merem. Istrinya bernama Bonadebu. Lelaki itu seorang yang taat beribadah dan taat pula kepada pemerintahan. Woiram menikah dengan Bonadebu tidak mendam-bakan keturunan, tetapi hanya sekedar menjaga harga diri sebagai seorang lelaki. Oleh karena setiap harinya dia tidak tinggal serumah dengan istrinya padahal mereka satu kampung.
Perjalanan rumah tangga yang mereka alami cukup lama. Kehidupan mereka juga cukup bahagia, tetapi nampaknya agak terganggu, karena sang istri mendambakan keturunan, tetapi harapan ini tidak dikabulkan oleh suaminya, karena dia sudah berjanji kepada dewa untuk tidak punya keturunan.
Pada suatu hari Woiram punya keinginan punya anak. Dia sebagai orang yang taat beribadah, sehingga setiap saat memohon kepada raja tanah, penguasa alam serta bintang di langit, agar dikaruniani anak.
Untuk melangsungkan hidup berumah tangga pekerjaan Wairorn yaitu berburu dan berkebun. Sebelum pergi berburu, biasanya dia
terlebih dahulu membuat tali busur di kamar. Entah,……kutang
hati-hati atau tergesa-gesa tiba-tiba telunjuknya teriris pisau. Mengalir deras darah yang keluar dari telunjuknya. Aliran darah yang cukup banyak itu disimpan dan disembunyikan di sebuah tempayan.
Pagi harinya dia bersama istrinya pergi ke kebun. Mereka giat bekerja, berhubung banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, maka keduanya tidak pulang. Setelah dua hari di kebun, mereka bani pulang. Setiba di rumah dia tidur dalam keadaan nyenyak. Pada pertengahan malam dia terbangun, karena mendengar anak kecil sedang menangis, tetapi dia tidak serius mendengarkan, hanya sekilas, sehingga tidur kembali. Dia menganggap mimpi belaka.
Tidak lama kemudian terdengar lagi suara tangis anak kecil. Dia langsung berdo’a agar ditunjukkan kepada kejadian yang aneh itu. Tiba-tiba tampaklah sinar dari tempayan. Dia mendekati sinar yang ada di tempayan itu, ternyata ada seorang bayi. Dia berterima kasih kepada Dewa, karena mengabulkan permintaannya. Di samping itu dia juga merasa gembira, lalu diambilnya bayi itu. Anak lelaki itu diberi nama Woiwallytmang. Karena dia takut kepada istrinya, dianggap tidak setia, maka anaknya itu dibawa ke tempat yang jauh. Sebagai tempat tinggalnya anak itu dibuatkan gubuk oleh ayahnya di bawah pohon beringin yang berbuah coklat, dan sebagai makanan anaknya.
Lambat laun lelaki itu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pekerjaan sehari-harinya berburu dan berkebun. Suatu hari dia sial, karena berburu tidak mendapatkan seekorpun binatang. Pada waktu dia istirahat terlihat burung yang sedang menghinggap di pohon yang dekat dengannya. Dengan pelan burung itu dipanah, tetapi berulang-ulang memanah, masih juga tidak mengena sasaran.
Kemudian dia mengikuti arah panah yang telah dilepaskan. Anak panah itu masuk ke dalam kebun dan tertancap di batang pisang. Dikala dia hendak mencabut anak panah yang tertancap, maka tiba-tiba dari balik pohon pisang itu ada seorang perempuan berkata, “Hai lelaki tampan siapa namamu dan apa pekerjaanmu?” Mendengar perkataan wanita itu dia sangat terkejut dan. takut, karena selama ini, karena sejak kecil dia tidak pernah mengenal siapapun, kecuali ayahnya. Setelah itu dia ingat, bahwa selain ada lelaki, masih juga ada perempuan.
Dia menjawab, “Namaku Woiwallytmang, sedangkan pekerjaanku berburu. “Mendengar jawaban dari pemuda wanita itu terkejut, karena dia melihat sinar yang terpancar dari tubuh anak itu. Wanita itu adalah Bonadebu, ibunya sendiri.
Wanita itu bertanya lagi. Siapa namamu dan darimana asalmu. Pemuda itu menjawab,” Ayahku bernama Woiram dan aku tidak tahu tempat tinggalku.
Mendengar jawaban pemuda itu. Wanita tersebut sangat sakit hati, karena merasa dibohongi Woiram selama ini. Pemuda itu masih dihantui rasa ketakutan, sehingga wanita itu bisa segera mengubah sikapnya, sambil mengatakan,
“Kalau begitu mari nak saya antarkan ke rumah ayahmu!”
Sebelum pulang ke rumah Bonadebu mengajak Woiwallytmang mencari udang untuk oleh-oleh Woiram. Keduanya menuju sungai Wasi yang banyak sekali udangnya. Dalam keadaan serius mencari udang tanpa sengaja Woiwallytmang masuk ke dalam gua sungai Wasi. Sebelum anak itu keluar dari gua sungai itu, tanpa sengaja pula ditutup Bonadebu. Saat Bonadebu naik ke darat, tetapi Woiwallytmang masih juga belum nampak muncul. Bonadebu segera pulang dan dia menganggap pemuda itu pulang duluan.
Pada waktu itu Woiram mencari anak lelakinya ke gubuk, tapi tak seorangpun dijumpai di sana. Bahkan ayahnya berulang-ulang menjenguk tetapi tidak ada. Dia cemas dan bersedih hati, sementara takut bertanya kepada istrinya.
Pada suatu hari kepala adat bersama penduduk kampung menyembelih binatang buruannya di sungai Wasi, tiba-tiba ditemukan seonggok udang. Udang itu diberikan kepada kepala adat. Diterimanya udang itu, lalu diserahkan kepada istrinya. Pesan dia udang ini dimasak, tapi jangan dimakan. Setelah itu dia berangkat lagi ke sungai Wasi.
Datanglah dua anak perempuan kepada adat ke ibu mereka sambil menangis minta udang yang telah dimasak tadi. Dengan rasa kasihan akhirnya udang itu diberikan kepada Mecy dan Mesam.
Kini kepala adat datang, lalu minta makan. Tentu saja sang istri bingung, karena udang yang dia masak sudah habis dimakan kedua anaknya. Kepala adat sangat marah kepada istrinya. Kedua anaknya melihat menyaksikan pertengkaran antara ayah dan ibunya, bahkan saat itu ibunya dipukul. Kedua anak itu sangat sedih serta berusaha untuk mencari udang sebagai gantinya. Keduanya berangkat ke sungai Wasi. Setiba di sungai itu dia langsung menyelam ke dalam gua. Dalam gua itu kakinya menginjakkan benda empuk. Benda itu secara pelan-pelan diangkat ke atas, ternyata manusia. Manusia itu dibersihkan, kemudian diangkat ke atas permukaan sungai, kemudian dihangatkan dengan dedaunan yang dibakar. Dalam jangka waktu yang relatif singkat manusia itu bisa bergerak, ternyata dia masih hidup. Kedua anak itu sangat riang gembira.
Setelah Woiwallytmang sadar dia mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua anak perempuan atas pertolongannya. Dia menanyakan nama dan tempat tinggal kedua gadis itu. Namaku Mecy dan adikku namanya Mesam. Tempat tinggalku dekat dari temapt ini.
Namaku Woiwallytmang, kenapa kalian membangunkan aku? Saya dan adikku tidak membangunkan kamu, tetapi hanya menolong dari ancaman kematian, karena kamu tadi tergeletak dalam gua sungai yang dalam itu.
sebagai ucapan terima kasihku, maka kami akan membalas kebaikanmu, yaitu mencarikan udang setiap hari dan saya antarkan ke rumahmu kata Woiwallytmang.
Ternyata benar juga apa yang dikatakan kepada kedua gadis itu. bahwa setiap hari pemuda itu mengantarkan udang ke rumahnya.
Orang tua Mecy merasa curiga, karena setiap hari selalu ada udang di rumah,kemudian ayahnya bertanya tentang asal usul udang itu.
Kedua anak itu tidak berani berterus terang memberitahu asal udang itu. Tetapi ayahnya terus bertanya mendesak, akhirnya mereka : memberi tahu, bahwa udang ini berasal dari Woiwallytmang.
Pada suatu hari pemuda itu datang ke rumah gadis perlu menemui ayah Mecy dan Mesam. Dia minta izin untuk menikahi putrinya bernama Mecy. Ayahnya sangat setuju. Pestapun segera dimulai. Acaranya sangat meriah, karena pada saat itu Woiwallytmang dinobatkan sebagai kepala adat.
Pestapun dimulai dengan meriah, sementara Woirom turut juga hadir dalam pesta itu. Dia sangat terkejut, karena yang dinobatkan jadi kepala adat ternyata anaknya. Selama ini Woiram merasa dipojokkan masyarakat, karena anaknya telah disembunyikan. Saat itu juga Woiram berdo’a kepada Dewa, agar memberi hukuman kepada mereka. Tiba-tiba hujan turun dengan lebat, serta bermacam-macam makanan berubah semua menjadi batu.
Kampung tersebut dilanda banjir bandang. Semua orang tenggelam dan terbawa arus yang sangat deras. Sementara Woiwallytmang, Mecy dan Woiram dalam keadaan selamat, karena saat air meluap mereka memanjat pohon pinang. Setelah air surut Wairom berpesan kepada Woiwallytmang dan Mecy agar memperbanyak berdo’a serta memperbanyak pula keturunan. Setelah pesan itu disampaikan, lalu dia mengajak keduanya ke sungai.
Setiba di sungai Woiram posisinya di atas batu seketika dia menghilang yang nampak hanya bekas kakinya.
Perjalanan rumah tangga yang mereka alami cukup lama. Kehidupan mereka juga cukup bahagia, tetapi nampaknya agak terganggu, karena sang istri mendambakan keturunan, tetapi harapan ini tidak dikabulkan oleh suaminya, karena dia sudah berjanji kepada dewa untuk tidak punya keturunan.
Pada suatu hari Woiram punya keinginan punya anak. Dia sebagai orang yang taat beribadah, sehingga setiap saat memohon kepada raja tanah, penguasa alam serta bintang di langit, agar dikaruniani anak.
Untuk melangsungkan hidup berumah tangga pekerjaan Wairorn yaitu berburu dan berkebun. Sebelum pergi berburu, biasanya dia
terlebih dahulu membuat tali busur di kamar. Entah,……kutang
hati-hati atau tergesa-gesa tiba-tiba telunjuknya teriris pisau. Mengalir deras darah yang keluar dari telunjuknya. Aliran darah yang cukup banyak itu disimpan dan disembunyikan di sebuah tempayan.
Pagi harinya dia bersama istrinya pergi ke kebun. Mereka giat bekerja, berhubung banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, maka keduanya tidak pulang. Setelah dua hari di kebun, mereka bani pulang. Setiba di rumah dia tidur dalam keadaan nyenyak. Pada pertengahan malam dia terbangun, karena mendengar anak kecil sedang menangis, tetapi dia tidak serius mendengarkan, hanya sekilas, sehingga tidur kembali. Dia menganggap mimpi belaka.
Tidak lama kemudian terdengar lagi suara tangis anak kecil. Dia langsung berdo’a agar ditunjukkan kepada kejadian yang aneh itu. Tiba-tiba tampaklah sinar dari tempayan. Dia mendekati sinar yang ada di tempayan itu, ternyata ada seorang bayi. Dia berterima kasih kepada Dewa, karena mengabulkan permintaannya. Di samping itu dia juga merasa gembira, lalu diambilnya bayi itu. Anak lelaki itu diberi nama Woiwallytmang. Karena dia takut kepada istrinya, dianggap tidak setia, maka anaknya itu dibawa ke tempat yang jauh. Sebagai tempat tinggalnya anak itu dibuatkan gubuk oleh ayahnya di bawah pohon beringin yang berbuah coklat, dan sebagai makanan anaknya.
Lambat laun lelaki itu tumbuh menjadi pemuda yang tampan. Pekerjaan sehari-harinya berburu dan berkebun. Suatu hari dia sial, karena berburu tidak mendapatkan seekorpun binatang. Pada waktu dia istirahat terlihat burung yang sedang menghinggap di pohon yang dekat dengannya. Dengan pelan burung itu dipanah, tetapi berulang-ulang memanah, masih juga tidak mengena sasaran.
Kemudian dia mengikuti arah panah yang telah dilepaskan. Anak panah itu masuk ke dalam kebun dan tertancap di batang pisang. Dikala dia hendak mencabut anak panah yang tertancap, maka tiba-tiba dari balik pohon pisang itu ada seorang perempuan berkata, “Hai lelaki tampan siapa namamu dan apa pekerjaanmu?” Mendengar perkataan wanita itu dia sangat terkejut dan. takut, karena selama ini, karena sejak kecil dia tidak pernah mengenal siapapun, kecuali ayahnya. Setelah itu dia ingat, bahwa selain ada lelaki, masih juga ada perempuan.
Dia menjawab, “Namaku Woiwallytmang, sedangkan pekerjaanku berburu. “Mendengar jawaban dari pemuda wanita itu terkejut, karena dia melihat sinar yang terpancar dari tubuh anak itu. Wanita itu adalah Bonadebu, ibunya sendiri.
Wanita itu bertanya lagi. Siapa namamu dan darimana asalmu. Pemuda itu menjawab,” Ayahku bernama Woiram dan aku tidak tahu tempat tinggalku.
Mendengar jawaban pemuda itu. Wanita tersebut sangat sakit hati, karena merasa dibohongi Woiram selama ini. Pemuda itu masih dihantui rasa ketakutan, sehingga wanita itu bisa segera mengubah sikapnya, sambil mengatakan,
“Kalau begitu mari nak saya antarkan ke rumah ayahmu!”
Sebelum pulang ke rumah Bonadebu mengajak Woiwallytmang mencari udang untuk oleh-oleh Woiram. Keduanya menuju sungai Wasi yang banyak sekali udangnya. Dalam keadaan serius mencari udang tanpa sengaja Woiwallytmang masuk ke dalam gua sungai Wasi. Sebelum anak itu keluar dari gua sungai itu, tanpa sengaja pula ditutup Bonadebu. Saat Bonadebu naik ke darat, tetapi Woiwallytmang masih juga belum nampak muncul. Bonadebu segera pulang dan dia menganggap pemuda itu pulang duluan.
Pada waktu itu Woiram mencari anak lelakinya ke gubuk, tapi tak seorangpun dijumpai di sana. Bahkan ayahnya berulang-ulang menjenguk tetapi tidak ada. Dia cemas dan bersedih hati, sementara takut bertanya kepada istrinya.
Pada suatu hari kepala adat bersama penduduk kampung menyembelih binatang buruannya di sungai Wasi, tiba-tiba ditemukan seonggok udang. Udang itu diberikan kepada kepala adat. Diterimanya udang itu, lalu diserahkan kepada istrinya. Pesan dia udang ini dimasak, tapi jangan dimakan. Setelah itu dia berangkat lagi ke sungai Wasi.
Datanglah dua anak perempuan kepada adat ke ibu mereka sambil menangis minta udang yang telah dimasak tadi. Dengan rasa kasihan akhirnya udang itu diberikan kepada Mecy dan Mesam.
Kini kepala adat datang, lalu minta makan. Tentu saja sang istri bingung, karena udang yang dia masak sudah habis dimakan kedua anaknya. Kepala adat sangat marah kepada istrinya. Kedua anaknya melihat menyaksikan pertengkaran antara ayah dan ibunya, bahkan saat itu ibunya dipukul. Kedua anak itu sangat sedih serta berusaha untuk mencari udang sebagai gantinya. Keduanya berangkat ke sungai Wasi. Setiba di sungai itu dia langsung menyelam ke dalam gua. Dalam gua itu kakinya menginjakkan benda empuk. Benda itu secara pelan-pelan diangkat ke atas, ternyata manusia. Manusia itu dibersihkan, kemudian diangkat ke atas permukaan sungai, kemudian dihangatkan dengan dedaunan yang dibakar. Dalam jangka waktu yang relatif singkat manusia itu bisa bergerak, ternyata dia masih hidup. Kedua anak itu sangat riang gembira.
Setelah Woiwallytmang sadar dia mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua anak perempuan atas pertolongannya. Dia menanyakan nama dan tempat tinggal kedua gadis itu. Namaku Mecy dan adikku namanya Mesam. Tempat tinggalku dekat dari temapt ini.
Namaku Woiwallytmang, kenapa kalian membangunkan aku? Saya dan adikku tidak membangunkan kamu, tetapi hanya menolong dari ancaman kematian, karena kamu tadi tergeletak dalam gua sungai yang dalam itu.
sebagai ucapan terima kasihku, maka kami akan membalas kebaikanmu, yaitu mencarikan udang setiap hari dan saya antarkan ke rumahmu kata Woiwallytmang.
Ternyata benar juga apa yang dikatakan kepada kedua gadis itu. bahwa setiap hari pemuda itu mengantarkan udang ke rumahnya.
Orang tua Mecy merasa curiga, karena setiap hari selalu ada udang di rumah,kemudian ayahnya bertanya tentang asal usul udang itu.
Kedua anak itu tidak berani berterus terang memberitahu asal udang itu. Tetapi ayahnya terus bertanya mendesak, akhirnya mereka : memberi tahu, bahwa udang ini berasal dari Woiwallytmang.
Pada suatu hari pemuda itu datang ke rumah gadis perlu menemui ayah Mecy dan Mesam. Dia minta izin untuk menikahi putrinya bernama Mecy. Ayahnya sangat setuju. Pestapun segera dimulai. Acaranya sangat meriah, karena pada saat itu Woiwallytmang dinobatkan sebagai kepala adat.
Pestapun dimulai dengan meriah, sementara Woirom turut juga hadir dalam pesta itu. Dia sangat terkejut, karena yang dinobatkan jadi kepala adat ternyata anaknya. Selama ini Woiram merasa dipojokkan masyarakat, karena anaknya telah disembunyikan. Saat itu juga Woiram berdo’a kepada Dewa, agar memberi hukuman kepada mereka. Tiba-tiba hujan turun dengan lebat, serta bermacam-macam makanan berubah semua menjadi batu.
Kampung tersebut dilanda banjir bandang. Semua orang tenggelam dan terbawa arus yang sangat deras. Sementara Woiwallytmang, Mecy dan Woiram dalam keadaan selamat, karena saat air meluap mereka memanjat pohon pinang. Setelah air surut Wairom berpesan kepada Woiwallytmang dan Mecy agar memperbanyak berdo’a serta memperbanyak pula keturunan. Setelah pesan itu disampaikan, lalu dia mengajak keduanya ke sungai.
Setiba di sungai Woiram posisinya di atas batu seketika dia menghilang yang nampak hanya bekas kakinya.
Posting Komentar untuk "Legenda "Asal-Usul Penduduk Merem" (Papua)"
Posting Komentar
Silakan ambil manfaat dan jika ada pertanyaan, silakan tulis di form komentar.
Terima kasih atas komentar yang sopan dan menyejukkan.